Friday 10 May 2013

Tentang sosialisasi dan membangun komitmen masyarakat



Untuk mengawali kegiatan kajian, pihak-pihak yang akan menjadi mitra (stakeholder) perlu mengetahui dahulu informasi program yang akan dijalankan, maksud, tujuan, jenis kegiatan serta waktu pelaksanaannya. Atas dasar itu, tim program khususnya para pendamping lapangan perlu melakukan sosialisasi dengan beberapa agenda seperti tersebut di atas. Oleh karena program PRB ini dapat dikatakan merupakan program rintisan  di wilayah TTS, NTT yang dilakukan oleh Bina Swadaya Konsultan (BSK), maka fokus utama kegiatan yang dilakukan di tahap awal ini adalah kajian (assessment) desa partisipatif terkait PRB, perubahan iklim, dan manajemen ekosistem atau juga disebut participatory disaster rural appraisal (PDRA). Informasi dasar itulah yang coba disampaikan oleh para pendamping lokal pada tahap ini kepada aparat dan masyarakat desa yang menjadi tempat kajian, banyak pengalaman dan catatan berharga yang didapat dari tahap awal kegiatan kajian ini, mulai dari perjalanan, akses menuju desa maupun peran dan apresiasi para stakeholder dalam menyambut kegiatan yang akan berjalan. Persiapan baik dalam hal administratif maupun persiapan teknis untuk melakukan sosialisasi sebelumnya telah dilakukan oleh tim selama di kantor. Secara administratif, masing-masing pendamping desa diberikan surat pengantar sekaligus sosialisasi kegiatan yang menginformasikan gambaran umum program dan kegiatan yang akan dilakukan di desa. Di sisi lain, para pendamping juga diberikan pembekalan teknis mengenai informasi apa saja yang dapat disampaikan selama proses kegiatan sosialisasi. Tahap ini dimanfaatkan pula oleh para pendamping untuk mengumpulkan data sekunder mengenai desa yang menjadi tanggung jawabnya masing-masing.

Cerita dari Desa Noebesa

Berbagai persiapan seperti administrasi dan persiapan teknis lainnya (kendaraan, buku, dokumentasi) telah dilakukan pendamping sebelum melakukan sosialisasi. Para pendamping juga diberikan pembekalan teknis mengenai informasi apa saja yang dapat disampaikan selama proses kegiatan sosialisasi. Dalam kegiatan sosialisasi ini dimanfaatkan pula oleh para fasilitator untuk mengumpulkan data sekunder mengenai desa yang menjadi tanggung jawabnya masing-masing. Secara garis besar, tujuan sosialisasi yang berfokus pada pemberitahuan program dan membangun komitmen dengan perwakilan masyarakat dan beberapa pemangku kepentingan di tingkat desa maupun tingkat dusun, dapat berjalan dengan lancar. Terlebih, pendamping Desa Noebesa (Benny Nifu) pernah sebelumnya melakukan program di desa ini sehingga sudah mempunyai kedekatan dengan sebagian besar aparat dan masyarakat desa. Hubungan inilah yang menjadi ‘modal positif’ dalam mengadakan kegiatan program ini nantinya. Masing-masing pihak yang ditemui dari setiap desa mengapresiasi keberadaan program ini dengan menyatakan komitmennya untuk bekerjasama dan berpartisipasi dalam setiap kegiatan. Komitmen ini juga ditunjukkan dengan kesediaan menjadi tim kajian nantinya.

Cerita dari Desa Nakfunu

Seperti halnya kegiatan sosialisasi di desa lain, proses sosialisasi di desa ini berjalan lancar dengan tersampaikannya informasi-informasi utama kepada beberapa pemangku kepentingan tingkat desa. Walaupun pada prosesnya, pendamping lapangan tidak dapat menemui kepala desa sebagai pihak utama yang dituju (karena kesibukan lainnya), akan tetapi melalui 3 orang kaur (aparat) desa yang ditemui saat kegiatan ini, informasi ini pada akhirnya dapat tersampaikan dengan baik. Melalui tiga orang kaur desa ini juga informasi mengenai kedatangan tim kajian dan rencana kegiatan kajian disampaikan sampai ke tingkat dusun. Hal ini dapat dikatakan menjadi gambaran komitmen dan penerimaan pihak desa terhadap tim dan program yang akan dijalankan. Dalam hal ini komitmen kerjasama menjadi sangat penting karena prinsip dasar dari kajian ini adalah keterlibatan (partisipasi) masyarakat desa kajian itu sendiri. Di sisi lain, respon positif juga datang dari salah satu tokoh masyarakat yang ditemui saat kegiatan sosialisasi di Desa Nakfunu yaitu Bapak Orias Mauboi. "Haim loim he tafena kuan" (kami senang karna melalui program ini dapat membangun desa) ujar bapak yang mulai memasuki usia senja ini.


Cerita dari Desa Oinlasi

Secara umum, kegiatan sosialisasi yang dilakukan pendamping desa (Robert Abanat) di Desa Oinlasi berjalan tanpa hambatan yang berarti. Informasi mengenai rencana kegiatan dapat disampaikan langsung oleh pendamping pada sasaran dalam kegiatan sosialisasi ini yaitu aparat desa (kepala dan sekretaris desa). Hal positif yang diterima selama proses ini adalah dukungan dari aparat desa dengan memberikan komitmen untuk mendampingi tim selama proses kajian berlangsung dan memberikan informasi yang dibutuhkan oleh tim. Dalam hal lain, hambatan yang merupakan suatu hal yang niscaya ditemui dalam setiap proses kegiatan juga ditemui oleh tim (pendamping). Hambatan yang dirasakan adalah terkait waktu pelaksanaan sosialisasi dan rencana program yang bertepatan dengan masa pergantian kepengurusan desa, persiapan musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) dan masa menjelang pemilihan gubernur NTT. Hal ini berdampak pada ketiadaan beberapa pihak atau kesulitan pendamping dalam menemui pihak yang dituju. Namun begitu, kegiatan sosialisasi dan pencarian data sekunder  dapat dilakukan pendamping dengan metode ‘menjemput bola’ dimana pendamping tidak hanya mencari data di kantor desa dan kecamatan saja, tetapi juga data adinistratif di tingkat dusun jika aparat (kantor) desa belum memiliki data yang dibutuhkan tersebut. 

Cerita dari Desa Nunleu

Secara garis besar, kegiatan sosialisasi di Desa Nunleu berjalan dengan lancar. Pendamping dapat menemui langsung kepala desa dan beberapa aparatnya untuk menyampaikan informasi kegiatan program PRB ini. Pihak pemerintah desa melalui kepala desa dan aparat desa yang ditemui ini sangat mengapresiasi rencana kegiatan ini dengan menyampaikan komitmennya untuk membantu kelancaran kegiatan ini dan memnyebarkan informasi ini pada masing-masing kepala dusun. Di samping itu, kesediaan untuk menyediakan tempat persinggahan dan penginapan bagi tim saat melakukan kajian nanti juga merupakan bentuk dukungan lainnya.

Namun, di satu sisi Desa Nunleu mempunyai cerita tentang konflik internal yang terjadi antar marga dan konflik politik antara pemerintahan desa yang baru dengan yang lama. Dari awal kegiatan ini, pendamping sudah dapat merasakan aura konflik yang terjadi. Hal ini jelas terlihat saat pendamping menanyakan data mengenai profil desa. Pergantian kepengurusan desa yang dilaksanakan bertepatan dengan masa awal kegiatan membuat kabar mengenai konflik ini masih terasa hangat. Pasalnya, pemilihan ketua dan aparat desa yang baru tidak disetujui oleh beberapa kelompok masyarakat dari beberapa RT di Desa Nunleu. Pihak yang kontra dengan kepengurusan desa baru ini adalah kelompok masyarakat yang berpihak pada kepengurusan desa lama yang notabene menjadi kandidat kepala desa periode sekarang namun kalah suara. Konflik diperparah dengan adanya penggantian menyeluruh aparat desa oleh kepala desa baru tanpa adanya musyawarah dengan kepengurusan desa lama terlebih dahulu. Hal ini berujung pada aksi penahanan beberapa asset pemerintah desa seperti penyegelan kantor desa, penahanan sarana dan prasarana dan data-data desa oleh pengurus desa lama (mantan kepala desa). Konflik ini jelas berdampak pada pelaksanaan program nantinya seperti pada proses pengumpulan data dan kajian yang menjadi tidak objektif karena informasi atau pendapat yang disampaikan dapat saja tidak netral dan memihak. Terlebih lagi, pada proses pembentukan forum PRB yang merupakan salah satu keluaran utama program, akan menjadi hambatan (sekaligus tantangan) tersendiri karena tim harus berusaha lebih keras dalam mengidentifikasi dan menemukan orang-orang netral yan dapat berkomitmen dalam kegiatan forum nantinya. Dalam hal ini, dapat diberlakukan kriteria khusus untuk pembentukan forum PRB Desa Nunleu bahwa orang-orang yang terlibat dalam forum adalah orang yang netral dan bebas dari kepentingan-kepentingan politik dalam desa, mempunyai komitmen, bukan merupakan aparat desa (karena ketidaknetralan aparat), dan merupakan gabungan dari beberapa marga yang ada di Desa Nunleu. Artinya perimbangan jumlah marga juga perlu diperhatikan dalam pemilihan kepengurusan forum (tentunya dengan tetap memperhatikan perimbangan jumlah laki-laki dan perempuan). Saran mengenai pemilihan masyarakat (bukan aparat) sebagai mitra dalam kegiatan kajian ini juga disampaikan oleh salah Mama Ida, salah seorang warga Desa Nunleu. “Di Desa Nunleu banyak konflik untuk ini kami sarankan agar kegiatan ini langsung saja dikaji dari masyarakat” ujar Mama Ida.



Tentang Wilayah Kajian


Sebelum masuk lebih dalam mengenai cerita-cerita tim Bina Swadaya Konsultan dalam menjalankan misi pemberdayaan masyarakatnya, ada baiknya mengenal wilayah-wilayah kajian (assesment) dalam program Pengurangan Risiko Bencana sebagai isu utama yang diusungnya dalam program panjang ini. 

Desa Noebesa
Noebesa merupakan desa wilayah kajian yang letaknya paling dekat dengan kantor proyek (Soe) yaitu sekitar 32 km. Desa yang terletak di Kecamatan Amanuban Tengah ini merupakan salah satu desa dengan potensi mangan cukup besar di Kabupaten TTS. Sebagai salah satu desa yang terintervensi perusahaan tambang, akses jalan menuju desa pun bisa dibilang sudah cukup baik. Jalan tanah berbatu dengan lebar badan jalan kurang lebih 5 meter merupakan akses utama yang banyak dilalui warga untuk menjangkau desa ini. Walau begitu, di beberapa titik masih terdapat lubang-lubang jalan akibat pengikisan oleh air hujan dan intensitas lalu lalang mobil proyek. Kemiringan lereng jalan yang curam (sekitar 300) juga menjadi salah satu hal yang cukup menantang adrenalin saat melintasi jalan menuju Desa Noebesa. 
jalan tanah berbatu dan curam menuju Desa Noebesa, Timor Tengah Selatan, NTT

Desa Nakfunu
Desa ketiga yang menjadi wilayah kajian dalam program PRB terintegrasi perubahan iklim dan manajemen ekosistem yang dilakukan oleh Bina Swadaya adalah desa Nakfunu. Sebagai desa yang secara administratif masuk dalam Kecamatan Amanuban Tengah ini, Desa Nakfunu menjadi wilayah kajian terdekat kedua setelah Desa Noebesa (yaitu berjarak sekitar 35 km dari kantor proyek di Soe). Akan tetapi, jarak yang relative dekat ini tidak menjadikan jarak tempuh menuju desa ini menjadi lebih cepat. Pasalnya, akses jalan yang yang harus dilalui tim menuju Desa Nakfunu sangat berbahaya. Sepanjang perjalanan, tim akan ‘disambut’ dengan lubang-lubang jalanan yang bila tidak berhati-hati saat melewatinya, akan mengancam keselamatan si pejalan (tim). Terlebih lagi ada satu titik (sangat) rawan yang harus dilalui tim untuk menjangkau desa ini. Dikatakan sangat rawan karena pada titik itu, jalan yang harus dilewati adalah jalan dengan kemiringan sangat curam (kurang lebih 450) dan karakter tanah jalan yang licin (tanah liat putih).

jalan tanah liat licin menuju Desa Nakfunu


'jalur maut' menuju Desa Nakfunu, Timor Tengah Selatan, NTT
(sebelah kanan adalah longsoran tanah menuju jurang)

Tidak adanya pagar pembatas tepi jalan membuat para pejalan yang melewati titik ini harus ekstra hati-hati karena berhadapan langsung dengan jurang yang siap menelan korban kapan saja. Kondisi ini semakin parah bila musim hujan tiba. Karakter tanah liat yang semakin licin bila tersiram guyuran hujan inilah yang memaksa para pejalan tidak dapat melalui jalan ini dengan kendaraannya, baik roda dua apalagi roda empat (mobil). Bila sudah begini, para pejalan yang hendak menjangkau Desa Nakfunu ini harus berjalan kaki sejauh kurang lebih 2 km untuk melewati titik rawan ini. 



Desa Oinlasi
Secara administratif,  Desa Oinlasi merupakan desa yang berada pada satu kecamatan yang sama dengan Desa Nunleu yaitu di Kecamatan Amanatun Selatan. Desa yang juga menjadi ibukota kecamatan Amanatun Selatan ini berjarak sekitar 49 km dari Kota Soe (kantor proyek). Akses jalan yang dilalui untuk mencapai desa ini sama dengan jalan yang dilalui untuk menuju Desa Nunleu. Di beberapa titik menuju desa ini ditemukan beberapa kondisi jalan yang sangat buruk dengan beberapa lubang dan badan jalan yang rusak. Tak berbeda jauh dengan desa tetangganya (Desa Nunleu), pendamping harus ekstra hati-hati dalam mengendarai kendaraan bermotornya untuk melewati beberapa titik jalan di desa ini. Namun begitu, jalan desa yang hamper setiap harinya ramai dilalui kendaraan, baik roda dua maupun roda empat (bus) merupakan akses utama penduduk untuk mencapai desa-desa di sekitarnya.

jalan menuju Desa Oinlasi dan Desa Nunleu, Timor Tengah Selatan, NTT


Desa Nunleu
Desa Nunleu adalah desa yang terletak di ujung timur Kecamatan Amanatun Selatan dan merupakan desa terjauh (dari kantor proyek) yang menjadi daerah kajian dalam program ini. Jarak perjalanan yang ditempuh sampai sekitar 60 km dengan kondisi jalan yang berlubang dan melewati beberapa titik jalan yang sangat curam, menjadi tantangan tersendiri bagi tim khususnya pendamping desa ini (Mikson Kase). Untuk itu, kendaraan yang digunakan oleh para pendamping juga menjadi hal utama yang harus diperhatikan dalam menjalankan kegiatan dan tugas-tugas pendampingan nantinya. Sebelum sampai di Desa Nunleu, dalam perjalanannya pendamping harus melewati bagian wilayah Desa Kokoi bernama Oenitas dimana terdapat satu titik longsor (seluas kurang lebih 500 m) yang merusak badan jalan sehingga sedikit rumit untuk dapat dilalui.