Untuk mengawali kegiatan kajian, pihak-pihak yang akan menjadi mitra
(stakeholder) perlu mengetahui dahulu informasi program yang akan dijalankan,
maksud, tujuan, jenis kegiatan serta waktu pelaksanaannya. Atas dasar itu, tim
program khususnya para pendamping lapangan perlu melakukan sosialisasi dengan
beberapa agenda seperti tersebut di atas. Oleh karena program PRB ini dapat
dikatakan merupakan program rintisan di
wilayah TTS, NTT yang dilakukan oleh Bina Swadaya Konsultan (BSK), maka fokus
utama kegiatan yang dilakukan di tahap awal ini adalah kajian (assessment) desa
partisipatif terkait PRB, perubahan iklim, dan manajemen ekosistem atau juga
disebut participatory disaster rural
appraisal (PDRA). Informasi dasar itulah yang coba disampaikan oleh para
pendamping lokal pada tahap ini kepada aparat dan masyarakat desa yang menjadi
tempat kajian, banyak pengalaman dan catatan berharga yang didapat dari tahap
awal kegiatan kajian ini, mulai dari perjalanan, akses menuju desa maupun peran
dan apresiasi para stakeholder dalam menyambut kegiatan yang akan berjalan.
Persiapan baik dalam hal administratif maupun persiapan teknis untuk melakukan
sosialisasi sebelumnya telah dilakukan oleh tim selama di kantor. Secara
administratif, masing-masing pendamping desa diberikan surat pengantar
sekaligus sosialisasi kegiatan yang menginformasikan gambaran umum program dan
kegiatan yang akan dilakukan di desa. Di sisi lain, para pendamping juga
diberikan pembekalan teknis mengenai informasi apa saja yang dapat disampaikan
selama proses kegiatan sosialisasi. Tahap ini dimanfaatkan pula oleh para
pendamping untuk mengumpulkan data sekunder mengenai desa yang menjadi tanggung
jawabnya masing-masing.
Cerita
dari Desa Noebesa
Berbagai persiapan seperti administrasi dan persiapan teknis lainnya
(kendaraan, buku, dokumentasi) telah dilakukan pendamping sebelum melakukan
sosialisasi. Para pendamping juga diberikan pembekalan teknis mengenai
informasi apa saja yang dapat disampaikan selama proses kegiatan sosialisasi.
Dalam kegiatan sosialisasi ini dimanfaatkan pula oleh para fasilitator untuk
mengumpulkan data sekunder mengenai desa yang menjadi tanggung jawabnya
masing-masing. Secara garis besar, tujuan sosialisasi yang berfokus pada
pemberitahuan program dan membangun komitmen dengan perwakilan masyarakat dan
beberapa pemangku kepentingan di tingkat desa maupun tingkat dusun, dapat
berjalan dengan lancar. Terlebih, pendamping Desa Noebesa (Benny Nifu) pernah
sebelumnya melakukan program di desa ini sehingga sudah mempunyai kedekatan
dengan sebagian besar aparat dan masyarakat desa. Hubungan inilah yang menjadi
‘modal positif’ dalam mengadakan kegiatan program ini nantinya. Masing-masing
pihak yang ditemui dari setiap desa mengapresiasi keberadaan program ini dengan
menyatakan komitmennya untuk bekerjasama dan berpartisipasi dalam setiap
kegiatan. Komitmen ini juga ditunjukkan dengan kesediaan menjadi tim kajian
nantinya.
Cerita
dari Desa Nakfunu
Seperti halnya kegiatan sosialisasi
di desa lain, proses sosialisasi di desa ini berjalan lancar dengan
tersampaikannya informasi-informasi utama kepada beberapa pemangku kepentingan
tingkat desa. Walaupun pada prosesnya, pendamping lapangan tidak dapat menemui
kepala desa sebagai pihak utama yang dituju (karena kesibukan lainnya), akan
tetapi melalui 3 orang kaur (aparat) desa yang ditemui saat kegiatan ini,
informasi ini pada akhirnya dapat tersampaikan dengan baik. Melalui tiga orang
kaur desa ini juga informasi mengenai kedatangan tim kajian dan rencana
kegiatan kajian disampaikan sampai ke tingkat dusun. Hal ini dapat dikatakan
menjadi gambaran komitmen dan penerimaan pihak desa terhadap tim dan program
yang akan dijalankan. Dalam hal ini komitmen kerjasama menjadi sangat penting
karena prinsip dasar dari kajian ini adalah keterlibatan (partisipasi)
masyarakat desa kajian itu sendiri. Di sisi lain, respon positif juga datang
dari salah satu tokoh masyarakat yang ditemui saat kegiatan sosialisasi di Desa
Nakfunu yaitu Bapak
Orias Mauboi. "Haim loim he
tafena kuan" (kami senang karna melalui program ini dapat membangun
desa) ujar bapak yang mulai memasuki usia senja ini.
Cerita
dari Desa Oinlasi
Secara umum, kegiatan sosialisasi
yang dilakukan pendamping desa (Robert Abanat) di Desa Oinlasi berjalan tanpa hambatan yang berarti. Informasi mengenai rencana kegiatan dapat disampaikan langsung oleh
pendamping pada sasaran dalam kegiatan sosialisasi ini yaitu aparat desa
(kepala dan sekretaris desa). Hal positif yang diterima selama proses ini
adalah dukungan dari aparat desa dengan memberikan komitmen untuk mendampingi
tim selama proses kajian berlangsung dan memberikan informasi yang dibutuhkan
oleh tim. Dalam hal lain, hambatan yang merupakan suatu hal yang niscaya
ditemui dalam setiap proses kegiatan juga ditemui oleh tim (pendamping). Hambatan
yang dirasakan adalah terkait waktu pelaksanaan sosialisasi dan rencana program
yang bertepatan dengan masa pergantian kepengurusan desa, persiapan musyawarah
perencanaan pembangunan (musrenbang) dan masa menjelang pemilihan gubernur NTT.
Hal ini berdampak pada ketiadaan beberapa pihak atau kesulitan pendamping dalam
menemui pihak yang dituju. Namun begitu, kegiatan sosialisasi dan pencarian
data sekunder dapat dilakukan pendamping
dengan metode ‘menjemput bola’ dimana pendamping tidak hanya mencari data di
kantor desa dan kecamatan saja, tetapi juga data adinistratif di tingkat dusun
jika aparat (kantor) desa belum memiliki data yang dibutuhkan tersebut.
Cerita
dari Desa Nunleu
Secara garis besar, kegiatan
sosialisasi di Desa Nunleu berjalan dengan lancar. Pendamping dapat menemui
langsung kepala desa dan beberapa aparatnya untuk menyampaikan informasi
kegiatan program PRB ini. Pihak pemerintah desa melalui kepala desa dan aparat
desa yang ditemui ini sangat mengapresiasi rencana kegiatan ini dengan
menyampaikan komitmennya untuk membantu kelancaran kegiatan ini dan
memnyebarkan informasi ini pada masing-masing kepala dusun. Di samping itu,
kesediaan untuk menyediakan tempat persinggahan dan penginapan bagi tim saat
melakukan kajian nanti juga merupakan bentuk dukungan lainnya.
Namun, di satu sisi Desa Nunleu
mempunyai cerita tentang konflik internal yang terjadi antar marga dan konflik
politik antara pemerintahan desa yang baru dengan yang lama. Dari awal kegiatan
ini, pendamping sudah dapat merasakan aura konflik yang terjadi. Hal ini jelas
terlihat saat pendamping menanyakan data mengenai profil desa. Pergantian
kepengurusan desa yang dilaksanakan bertepatan dengan masa awal kegiatan
membuat kabar mengenai konflik ini masih terasa hangat. Pasalnya, pemilihan
ketua dan aparat desa yang baru tidak disetujui oleh beberapa kelompok
masyarakat dari beberapa RT di Desa Nunleu. Pihak yang kontra dengan
kepengurusan desa baru ini adalah kelompok masyarakat yang berpihak pada
kepengurusan desa lama yang notabene menjadi kandidat kepala desa periode
sekarang namun kalah suara. Konflik diperparah dengan adanya penggantian
menyeluruh aparat desa oleh kepala desa baru tanpa adanya musyawarah dengan
kepengurusan desa lama terlebih dahulu. Hal ini berujung pada aksi penahanan
beberapa asset pemerintah desa seperti penyegelan kantor desa, penahanan sarana
dan prasarana dan data-data desa oleh pengurus desa lama (mantan kepala desa).
Konflik ini jelas berdampak pada pelaksanaan program nantinya seperti pada
proses pengumpulan data dan kajian yang menjadi tidak objektif karena informasi
atau pendapat yang disampaikan dapat saja tidak netral dan memihak. Terlebih
lagi, pada proses pembentukan forum PRB yang merupakan salah satu keluaran
utama program, akan menjadi hambatan (sekaligus tantangan) tersendiri karena
tim harus berusaha lebih keras dalam mengidentifikasi dan menemukan orang-orang
netral yan dapat berkomitmen dalam kegiatan forum nantinya. Dalam hal ini,
dapat diberlakukan kriteria khusus untuk pembentukan forum PRB Desa Nunleu
bahwa orang-orang yang terlibat dalam forum adalah orang yang netral dan bebas
dari kepentingan-kepentingan politik dalam desa, mempunyai komitmen, bukan
merupakan aparat desa (karena ketidaknetralan aparat), dan merupakan gabungan
dari beberapa marga yang ada di Desa Nunleu. Artinya perimbangan jumlah marga
juga perlu diperhatikan dalam pemilihan kepengurusan forum (tentunya dengan
tetap memperhatikan perimbangan jumlah laki-laki dan perempuan). Saran mengenai
pemilihan masyarakat (bukan aparat) sebagai mitra dalam kegiatan kajian ini
juga disampaikan oleh salah Mama Ida, salah seorang warga Desa Nunleu. “Di Desa
Nunleu banyak konflik untuk ini kami sarankan agar kegiatan ini langsung saja
dikaji dari masyarakat” ujar Mama Ida.