Friday 10 May 2013

Tentang sosialisasi dan membangun komitmen masyarakat



Untuk mengawali kegiatan kajian, pihak-pihak yang akan menjadi mitra (stakeholder) perlu mengetahui dahulu informasi program yang akan dijalankan, maksud, tujuan, jenis kegiatan serta waktu pelaksanaannya. Atas dasar itu, tim program khususnya para pendamping lapangan perlu melakukan sosialisasi dengan beberapa agenda seperti tersebut di atas. Oleh karena program PRB ini dapat dikatakan merupakan program rintisan  di wilayah TTS, NTT yang dilakukan oleh Bina Swadaya Konsultan (BSK), maka fokus utama kegiatan yang dilakukan di tahap awal ini adalah kajian (assessment) desa partisipatif terkait PRB, perubahan iklim, dan manajemen ekosistem atau juga disebut participatory disaster rural appraisal (PDRA). Informasi dasar itulah yang coba disampaikan oleh para pendamping lokal pada tahap ini kepada aparat dan masyarakat desa yang menjadi tempat kajian, banyak pengalaman dan catatan berharga yang didapat dari tahap awal kegiatan kajian ini, mulai dari perjalanan, akses menuju desa maupun peran dan apresiasi para stakeholder dalam menyambut kegiatan yang akan berjalan. Persiapan baik dalam hal administratif maupun persiapan teknis untuk melakukan sosialisasi sebelumnya telah dilakukan oleh tim selama di kantor. Secara administratif, masing-masing pendamping desa diberikan surat pengantar sekaligus sosialisasi kegiatan yang menginformasikan gambaran umum program dan kegiatan yang akan dilakukan di desa. Di sisi lain, para pendamping juga diberikan pembekalan teknis mengenai informasi apa saja yang dapat disampaikan selama proses kegiatan sosialisasi. Tahap ini dimanfaatkan pula oleh para pendamping untuk mengumpulkan data sekunder mengenai desa yang menjadi tanggung jawabnya masing-masing.

Cerita dari Desa Noebesa

Berbagai persiapan seperti administrasi dan persiapan teknis lainnya (kendaraan, buku, dokumentasi) telah dilakukan pendamping sebelum melakukan sosialisasi. Para pendamping juga diberikan pembekalan teknis mengenai informasi apa saja yang dapat disampaikan selama proses kegiatan sosialisasi. Dalam kegiatan sosialisasi ini dimanfaatkan pula oleh para fasilitator untuk mengumpulkan data sekunder mengenai desa yang menjadi tanggung jawabnya masing-masing. Secara garis besar, tujuan sosialisasi yang berfokus pada pemberitahuan program dan membangun komitmen dengan perwakilan masyarakat dan beberapa pemangku kepentingan di tingkat desa maupun tingkat dusun, dapat berjalan dengan lancar. Terlebih, pendamping Desa Noebesa (Benny Nifu) pernah sebelumnya melakukan program di desa ini sehingga sudah mempunyai kedekatan dengan sebagian besar aparat dan masyarakat desa. Hubungan inilah yang menjadi ‘modal positif’ dalam mengadakan kegiatan program ini nantinya. Masing-masing pihak yang ditemui dari setiap desa mengapresiasi keberadaan program ini dengan menyatakan komitmennya untuk bekerjasama dan berpartisipasi dalam setiap kegiatan. Komitmen ini juga ditunjukkan dengan kesediaan menjadi tim kajian nantinya.

Cerita dari Desa Nakfunu

Seperti halnya kegiatan sosialisasi di desa lain, proses sosialisasi di desa ini berjalan lancar dengan tersampaikannya informasi-informasi utama kepada beberapa pemangku kepentingan tingkat desa. Walaupun pada prosesnya, pendamping lapangan tidak dapat menemui kepala desa sebagai pihak utama yang dituju (karena kesibukan lainnya), akan tetapi melalui 3 orang kaur (aparat) desa yang ditemui saat kegiatan ini, informasi ini pada akhirnya dapat tersampaikan dengan baik. Melalui tiga orang kaur desa ini juga informasi mengenai kedatangan tim kajian dan rencana kegiatan kajian disampaikan sampai ke tingkat dusun. Hal ini dapat dikatakan menjadi gambaran komitmen dan penerimaan pihak desa terhadap tim dan program yang akan dijalankan. Dalam hal ini komitmen kerjasama menjadi sangat penting karena prinsip dasar dari kajian ini adalah keterlibatan (partisipasi) masyarakat desa kajian itu sendiri. Di sisi lain, respon positif juga datang dari salah satu tokoh masyarakat yang ditemui saat kegiatan sosialisasi di Desa Nakfunu yaitu Bapak Orias Mauboi. "Haim loim he tafena kuan" (kami senang karna melalui program ini dapat membangun desa) ujar bapak yang mulai memasuki usia senja ini.


Cerita dari Desa Oinlasi

Secara umum, kegiatan sosialisasi yang dilakukan pendamping desa (Robert Abanat) di Desa Oinlasi berjalan tanpa hambatan yang berarti. Informasi mengenai rencana kegiatan dapat disampaikan langsung oleh pendamping pada sasaran dalam kegiatan sosialisasi ini yaitu aparat desa (kepala dan sekretaris desa). Hal positif yang diterima selama proses ini adalah dukungan dari aparat desa dengan memberikan komitmen untuk mendampingi tim selama proses kajian berlangsung dan memberikan informasi yang dibutuhkan oleh tim. Dalam hal lain, hambatan yang merupakan suatu hal yang niscaya ditemui dalam setiap proses kegiatan juga ditemui oleh tim (pendamping). Hambatan yang dirasakan adalah terkait waktu pelaksanaan sosialisasi dan rencana program yang bertepatan dengan masa pergantian kepengurusan desa, persiapan musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) dan masa menjelang pemilihan gubernur NTT. Hal ini berdampak pada ketiadaan beberapa pihak atau kesulitan pendamping dalam menemui pihak yang dituju. Namun begitu, kegiatan sosialisasi dan pencarian data sekunder  dapat dilakukan pendamping dengan metode ‘menjemput bola’ dimana pendamping tidak hanya mencari data di kantor desa dan kecamatan saja, tetapi juga data adinistratif di tingkat dusun jika aparat (kantor) desa belum memiliki data yang dibutuhkan tersebut. 

Cerita dari Desa Nunleu

Secara garis besar, kegiatan sosialisasi di Desa Nunleu berjalan dengan lancar. Pendamping dapat menemui langsung kepala desa dan beberapa aparatnya untuk menyampaikan informasi kegiatan program PRB ini. Pihak pemerintah desa melalui kepala desa dan aparat desa yang ditemui ini sangat mengapresiasi rencana kegiatan ini dengan menyampaikan komitmennya untuk membantu kelancaran kegiatan ini dan memnyebarkan informasi ini pada masing-masing kepala dusun. Di samping itu, kesediaan untuk menyediakan tempat persinggahan dan penginapan bagi tim saat melakukan kajian nanti juga merupakan bentuk dukungan lainnya.

Namun, di satu sisi Desa Nunleu mempunyai cerita tentang konflik internal yang terjadi antar marga dan konflik politik antara pemerintahan desa yang baru dengan yang lama. Dari awal kegiatan ini, pendamping sudah dapat merasakan aura konflik yang terjadi. Hal ini jelas terlihat saat pendamping menanyakan data mengenai profil desa. Pergantian kepengurusan desa yang dilaksanakan bertepatan dengan masa awal kegiatan membuat kabar mengenai konflik ini masih terasa hangat. Pasalnya, pemilihan ketua dan aparat desa yang baru tidak disetujui oleh beberapa kelompok masyarakat dari beberapa RT di Desa Nunleu. Pihak yang kontra dengan kepengurusan desa baru ini adalah kelompok masyarakat yang berpihak pada kepengurusan desa lama yang notabene menjadi kandidat kepala desa periode sekarang namun kalah suara. Konflik diperparah dengan adanya penggantian menyeluruh aparat desa oleh kepala desa baru tanpa adanya musyawarah dengan kepengurusan desa lama terlebih dahulu. Hal ini berujung pada aksi penahanan beberapa asset pemerintah desa seperti penyegelan kantor desa, penahanan sarana dan prasarana dan data-data desa oleh pengurus desa lama (mantan kepala desa). Konflik ini jelas berdampak pada pelaksanaan program nantinya seperti pada proses pengumpulan data dan kajian yang menjadi tidak objektif karena informasi atau pendapat yang disampaikan dapat saja tidak netral dan memihak. Terlebih lagi, pada proses pembentukan forum PRB yang merupakan salah satu keluaran utama program, akan menjadi hambatan (sekaligus tantangan) tersendiri karena tim harus berusaha lebih keras dalam mengidentifikasi dan menemukan orang-orang netral yan dapat berkomitmen dalam kegiatan forum nantinya. Dalam hal ini, dapat diberlakukan kriteria khusus untuk pembentukan forum PRB Desa Nunleu bahwa orang-orang yang terlibat dalam forum adalah orang yang netral dan bebas dari kepentingan-kepentingan politik dalam desa, mempunyai komitmen, bukan merupakan aparat desa (karena ketidaknetralan aparat), dan merupakan gabungan dari beberapa marga yang ada di Desa Nunleu. Artinya perimbangan jumlah marga juga perlu diperhatikan dalam pemilihan kepengurusan forum (tentunya dengan tetap memperhatikan perimbangan jumlah laki-laki dan perempuan). Saran mengenai pemilihan masyarakat (bukan aparat) sebagai mitra dalam kegiatan kajian ini juga disampaikan oleh salah Mama Ida, salah seorang warga Desa Nunleu. “Di Desa Nunleu banyak konflik untuk ini kami sarankan agar kegiatan ini langsung saja dikaji dari masyarakat” ujar Mama Ida.



Tentang Wilayah Kajian


Sebelum masuk lebih dalam mengenai cerita-cerita tim Bina Swadaya Konsultan dalam menjalankan misi pemberdayaan masyarakatnya, ada baiknya mengenal wilayah-wilayah kajian (assesment) dalam program Pengurangan Risiko Bencana sebagai isu utama yang diusungnya dalam program panjang ini. 

Desa Noebesa
Noebesa merupakan desa wilayah kajian yang letaknya paling dekat dengan kantor proyek (Soe) yaitu sekitar 32 km. Desa yang terletak di Kecamatan Amanuban Tengah ini merupakan salah satu desa dengan potensi mangan cukup besar di Kabupaten TTS. Sebagai salah satu desa yang terintervensi perusahaan tambang, akses jalan menuju desa pun bisa dibilang sudah cukup baik. Jalan tanah berbatu dengan lebar badan jalan kurang lebih 5 meter merupakan akses utama yang banyak dilalui warga untuk menjangkau desa ini. Walau begitu, di beberapa titik masih terdapat lubang-lubang jalan akibat pengikisan oleh air hujan dan intensitas lalu lalang mobil proyek. Kemiringan lereng jalan yang curam (sekitar 300) juga menjadi salah satu hal yang cukup menantang adrenalin saat melintasi jalan menuju Desa Noebesa. 
jalan tanah berbatu dan curam menuju Desa Noebesa, Timor Tengah Selatan, NTT

Desa Nakfunu
Desa ketiga yang menjadi wilayah kajian dalam program PRB terintegrasi perubahan iklim dan manajemen ekosistem yang dilakukan oleh Bina Swadaya adalah desa Nakfunu. Sebagai desa yang secara administratif masuk dalam Kecamatan Amanuban Tengah ini, Desa Nakfunu menjadi wilayah kajian terdekat kedua setelah Desa Noebesa (yaitu berjarak sekitar 35 km dari kantor proyek di Soe). Akan tetapi, jarak yang relative dekat ini tidak menjadikan jarak tempuh menuju desa ini menjadi lebih cepat. Pasalnya, akses jalan yang yang harus dilalui tim menuju Desa Nakfunu sangat berbahaya. Sepanjang perjalanan, tim akan ‘disambut’ dengan lubang-lubang jalanan yang bila tidak berhati-hati saat melewatinya, akan mengancam keselamatan si pejalan (tim). Terlebih lagi ada satu titik (sangat) rawan yang harus dilalui tim untuk menjangkau desa ini. Dikatakan sangat rawan karena pada titik itu, jalan yang harus dilewati adalah jalan dengan kemiringan sangat curam (kurang lebih 450) dan karakter tanah jalan yang licin (tanah liat putih).

jalan tanah liat licin menuju Desa Nakfunu


'jalur maut' menuju Desa Nakfunu, Timor Tengah Selatan, NTT
(sebelah kanan adalah longsoran tanah menuju jurang)

Tidak adanya pagar pembatas tepi jalan membuat para pejalan yang melewati titik ini harus ekstra hati-hati karena berhadapan langsung dengan jurang yang siap menelan korban kapan saja. Kondisi ini semakin parah bila musim hujan tiba. Karakter tanah liat yang semakin licin bila tersiram guyuran hujan inilah yang memaksa para pejalan tidak dapat melalui jalan ini dengan kendaraannya, baik roda dua apalagi roda empat (mobil). Bila sudah begini, para pejalan yang hendak menjangkau Desa Nakfunu ini harus berjalan kaki sejauh kurang lebih 2 km untuk melewati titik rawan ini. 



Desa Oinlasi
Secara administratif,  Desa Oinlasi merupakan desa yang berada pada satu kecamatan yang sama dengan Desa Nunleu yaitu di Kecamatan Amanatun Selatan. Desa yang juga menjadi ibukota kecamatan Amanatun Selatan ini berjarak sekitar 49 km dari Kota Soe (kantor proyek). Akses jalan yang dilalui untuk mencapai desa ini sama dengan jalan yang dilalui untuk menuju Desa Nunleu. Di beberapa titik menuju desa ini ditemukan beberapa kondisi jalan yang sangat buruk dengan beberapa lubang dan badan jalan yang rusak. Tak berbeda jauh dengan desa tetangganya (Desa Nunleu), pendamping harus ekstra hati-hati dalam mengendarai kendaraan bermotornya untuk melewati beberapa titik jalan di desa ini. Namun begitu, jalan desa yang hamper setiap harinya ramai dilalui kendaraan, baik roda dua maupun roda empat (bus) merupakan akses utama penduduk untuk mencapai desa-desa di sekitarnya.

jalan menuju Desa Oinlasi dan Desa Nunleu, Timor Tengah Selatan, NTT


Desa Nunleu
Desa Nunleu adalah desa yang terletak di ujung timur Kecamatan Amanatun Selatan dan merupakan desa terjauh (dari kantor proyek) yang menjadi daerah kajian dalam program ini. Jarak perjalanan yang ditempuh sampai sekitar 60 km dengan kondisi jalan yang berlubang dan melewati beberapa titik jalan yang sangat curam, menjadi tantangan tersendiri bagi tim khususnya pendamping desa ini (Mikson Kase). Untuk itu, kendaraan yang digunakan oleh para pendamping juga menjadi hal utama yang harus diperhatikan dalam menjalankan kegiatan dan tugas-tugas pendampingan nantinya. Sebelum sampai di Desa Nunleu, dalam perjalanannya pendamping harus melewati bagian wilayah Desa Kokoi bernama Oenitas dimana terdapat satu titik longsor (seluas kurang lebih 500 m) yang merusak badan jalan sehingga sedikit rumit untuk dapat dilalui. 

Friday 8 March 2013

Uji Coba Instrumen Kajian : sebuah refleksi dan pembelajaran


Pengalaman adalah guru terbaik. Begitulah orang bijak berpetuah. Dalam banyak hal, pengalaman baik itu menyenangkan maupun pengalaman buruk sekalipun, akan memberikan pelajaran. “Dengan mendengar maka kita akan tahu, dengan melihat maka kita akan mengingat, dan dengan melakukan maka kita akan merasakan” adalah pepatah usang yang semakin menegaskan bahwa proses belajar yang paling baik tidak hanya dengan mendengarkan dan membaca melainkan juga dengan ikut terlibat di dalamnya. Atas dasar itulah kegiatan uji coba instrumen kajian dilakukan sebagai tahap awal pelaksanaan program PRB ini. Karena tujuan awal program ini berfokus pada pengidentifikasian kondisi masyarakat terkait isu PRB, perubahan iklim dan manajemen ekosistem, maka memastikan ketepatan instrumen dan teknik (metodologi) yang digunakan dalam kajian adalah hal yang perlu dilakukan. Mengapa perlu? Hal ini jelas tergambar pada kalimat pembuka tulisan ini, bahwa dengan tim melakukan ujicoba (simulasi) kajian dengan beberapa instrumen yang telah ditentukan maka mereka akan dapat mengambil pelajaran dan merefleksikan hal-hal yang dapat mendukung dan menghambat dalam pelaksanaan kajian nantinya. Sebagai informasi, terdapat beberapa instrumen kajian yang direncanakan akan digunakan selama kajian diantaranya peta desa, transek desa, pedoman wawancara sejarah desa, diagram venn, kalender musim (mata pencaharian, kegiatan kemasyarakatan, dan musim kebencanaan), kuisioner profil pendapatan dan pengeluaran keluarga,  jam aktivitas keluarga, identifikasi akses dan kontrol, serta peringkat kesejahteraan. Namun, karena keterbatasan waktu, ujicoba terhadap semua instrumemen tersebut menjadi tidak mungkin. Sehingga pada akhirnya, tim memutuskan menguji dua instrumen kajian yang dianggap dapat mengungkapkan informasi-informasi dasar kajian, yaitu peta desa dan kalender musim. Beberapa pembelajaran yang didapat dari hasil ujicoba kedua instrumen diantaranya :

Refleksi teknik memfasilitasi
Selama proses ujicoba, tim memiliki kesempatan untuk memfasilitasi instrumen yang digunakan. Dalam kesempatan itu jugalah, mereka dapat merasakan pengalaman dan mengambil pelajaran sebagai fasilitator dalam kegiatan kajian. Dari pengalaman memfasilitasi ini, pada akhirnya tim dapat mengevaluasi hal-hal negatif dan positif berkaitan dengan teknik fasilitasi yang dilakukan oleh masing-masing orang, seperti gaya berbicara, posisi badan, suara, sampai ke hal-hal ‘sepele’ tapi penting seperti teknik menulis dan ukuran tulisan di flipchart/papan tulis, penempatan media (flipchart, karton, gambar, dll), dan kebiasaan seorang fasilitator saat memfasilitasi. Dengan berbagi cerita dan saling memberikan penilaian masing-masing fasilitator saat sesi refleksi dan evaluasi kegiatan uji coba, keterampilan anggota tim sebagai fasilitator saat kajian nantinya dapat semakin baik.


fasilitator sedang memfasilitasi kajian menggunakan instrumen kajian 'kalender musim'
dalam kegiatan uji coba
teknik menulis dan penggunaan media fasilitasi
menjadi catatan penting bagi fasilitator dalam memfasilitasi 

Refleksi proses kajian
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, bahwa kegiatan ujicoba dilakukan dengan tujuan memastikan ketepatan instrumen dan teknik (metodologi) yang digunakan dalam kajian. Dengan kata lain, kegiatan ini dapat merefleksikan proses kajian yang sesungguhnya. Melalui kegiatan ini, fasilitator dapat merasakan dan memperoleh gambaran mengenai situasi saat proses kajian, reaksi masyarakat yang hadir dan terlibat (ujicoba mengundang perwakilan aparat pemerintah desa, perwakilan organisasi/lembaga masyarakat, dan perwakilan masyarakat itu sendiri), dan berbagai permasalahan yang mungkin terjadi saat proses kajian berlangsung. Dari pengalaman inilah pada akhirnya masing-masing fasilitator dapat belajar untuk menyusun strategi dan trik-trik khusus untuk memperlancar jalannya diskusi dalam kajian. Sebagai contoh, saat fasilitator merasakan reaksi bahwa peserta kajian mulai bosan dan jenuh dengan kegiatan yang berjalan, fasilitator dapat mengambil inisiatif untuk melakukan ice breaking dengan permainan yang melibatkan seluruh peserta. Tujuannya agar kejenuhan peserta dapat hilang dan mereka dapat kembali berkonsentrasi mengikuti kegiatan.
suasana saat memfasilitasi masyarakat dalam pembuatan peta desa

Refleksi (konten) instrumen kajian
Dalam menentukan instrumen kajian, tim juga mendiskusikan hal-hal teknis seperti menyusun panduan pertanyaan dalam setiap instrument kajian, menentukan media yang digunakan, dan waktu pelaksanaannya. Penyusunan panduan tersebut didasarkan pada beberapa referensi (buku dan laporan kajian yang serupa) serta pengalaman dalam hal kajian. Namun, dalam kenyataannya terdapat beberapa hal (teknis) yang tidak dapat diterapkan sama pada semua masyarakat. Artinya, antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lain yang notabene memiliki karakternya masing-masing membuat teknik memfasilitasi yang dilakukan fasilitator juga berbeda-beda. Sebagai contoh, masyarakat Desa Noebesa, TTS, NTT (tempat pelaksanaan ujicoba) yang sebagian besar mata pencaharian penduduknya adalah berkebun menjadi pertimbangan tersendiri bagi tim dalam melakukan wawancara dan FGD keluarga. Sehingga pada akhirnya, wawancara yang pada umumnya dilakukan di ruang khusus, membuat tim memutuskan untuk melakukan wawancara di kebun atau di rumah masyarakat (informan) sehingga diharapkan tidak menganggu kegiatan mereka dalam mencari nafkah. Dalam hal lain, melalui kegiatan ujicoba ini, tim dapat mendiskusikan kembali mengenai detail pertanyaan panduan dalam setiap instrument kajian, sehingga pertanyaan tersebut apakah sesuai dengan masyarakat dan dapat menjawab tujuan yang diharapkan dalam kajian atau tidak. 

Wednesday 6 March 2013

Pada awalnya.. (bagian 2)


: tentang peningkatan kapasitas dan penguatan tim

Seperti yang dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara bahwa proses pembelajran dapat diperoleh dari keluarga, lembaga pendidikan (sekolah) dan masyarakat. Dalam dunia pemberdayaan, masyarakat adalah sumber segala ilmu bagi para penggiat masyarakat dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa para penggiat ini juga memerlukan bekal yang cukup terlebih dahulu untuk dapat memperoleh ilmu lainnya saat terjun ke masyarakat. Bekal pengetahuan inilah yang pada akhirnya menjadi landasan dalam melaksanakan tugas-tugas pemberdayaan dengan memperhatikan tujuan besar program yang akan dicapai. Pemberian bekal mengenai pengetahuan visi misi program, kode etik, pemahaman konsep yang diusung dalam program, serta hal-hal teknis dalam pelaksanaan tugas pemberdayaan masyarakat (khususnya teknik memfasilitasi masyarakat) menjadi materi yang wajib disampaikan dalam proses pelatihan dan penguatan tim.

Dalam penyampaian materi selama pelatihan, fasilitator menggunakan pendekatan andragogi atau pembelajaran orang dewasa (POD). Dalam pendekatan ini, tim program sebagai peserta pelatihan adalah orang dewasa yang dianggap sudah mempunyai konsep diri, yaitu kepribadian yang tidak bergantung pada orang lain, mempunyai banyak pengalaman dan pengalaman ini menjadi penting, mempunyai kesiapan belajar yang diprioritaskan pada tugas-tugas perkembangan dan peran sosialnya, serta orang yang mempunyai prospektif waktu dalam arti secepatnya mengaplikasikan apa yang ia pelajari. Atas dasar itulah, teknik-teknik yang digunakan dalam andragogi ini menjadi berbeda dengan teknik dalam pembelajaran anak-anak (pedagogi). Pada andragogi, diciptakan suasana hubungan sama status antara fasilitator dan peserta artinya terjadi proses saling membelajarkan diri dan menuntut seluruh peserta pelatihan berpartisipasi aktif. Dalam konteks ini, pembelajaran orang dewasa terlihat selama proses pelatihan tim yang diberikan oleh BSK kepada timnya dalam Program Pengurangan Risiko Bencana (PRB) terintegrasi perubahan iklim dan manajemen lingkungan.

Proses pelatihan tim
Dalam pelatihan (yang juga bisa disebut sebagai proses penguatan tim) yang berlangsung selama 5 hari ini, terdapat beberapa materi yang memuat pengetahuan-pengetahuan dasar tentang konsep yang diangkat dalam pelaksanaan program ini, yaitu tentang konsep pengurangan risiko bencana (PRB), perubahan iklim dan manajemen ekosistem. Untuk mengawali pemberian materi tersebut, terlebih dahulu tim diberikan pemahaman tentang BSK sebagai salah satu lembaga yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat dan mengenai program PRB yang dijalankan sebagai refleksi dari komitmen pemberdayaan masyarakat yang diusungnya.

1.       Pengenalan lembaga dan program
Sesi pengenalan lembaga dan program disampaikan dengan metode presentasi menggunakan video (pemutaran film pendek/dikumenter) dan bagan singkat mengenai latar belakang dan tujuan program. Hal ini dilakukan karena media visual dianggap lebih efektif dalam penyampaian pesan dibanding dengan teknik ceramah. selesai pemutaran video, fasilitator mengajak peserta untuk menyimpulkan isi dari video yang ditampilkan. Sedangkan untuk penjelasan mengenai bagan program, fasilitator memaparkan satu per satu bagian bagan sehingga gambaran mengenai visi misi dan strategi program dapat ditangkap oleh peserta dengan jelas.

2.       Pemahaman dasar konsep PRB-ekosistem-perubahan iklim
Pada sesi ini, fasilitator tetap menggunakan teknik pemutaran film dokumenter mengenai bencana, lingkungan dan perubahan iklim. Dari setiap film yang diputarkan, fasilitator kembali mengajak peserta untuk menceritakan maksud dan pesan yang disampaikan oleh film. Lebih jauh lagi, fasilitator mencoba menggali informasi dan pemahaman peserta menganai tema yang diangkat dalam film. Dalam hal ini, dapat dikatakan materi yang diberikan mengenai tiga konsep dasar yang digunakan sebagai dasar program (PRB, perubahan iklim, dan manajemnn ekosistem) masih pada tataran yang sangat dasar. Minimnya pemahaman mendalam dan sumber bacaan mengenai konsep-konsep ini baik oleh fasilitator maupun peserta, membuat sesi ini lebih diisi dengan diskusi dan sharing pengetahuan tentang konsep-konsep tersebut. Hal ini dapat menjadi bahan refleksi dalam pelaksanaan pelatihan tim ke depannya bahwa keberadaan nara sumber yang memiliki pengetahuan yang utuh tentang konsep atau tema yang diangkakt dalam propgram, sangat diperlukan. Namun begitu, dari sinilah proses pembelajaran antara fasilitator dan peserta dapat terbangun lebih baik.

tim memperhatikan film pendek yang diputar saat sesi pelatihan


3.       Pemahaman instrumen kajian PRB terintegrasi
Sebagai awal pelaksanaan program PRB, fokus kegiatan yang dilakukan oleh tim selama beberapa bulan ke depan adalah lebih kepada pengkajian (assessment) terhadap kondisi masyarakat (di 4 desa di TTS, NTT) dan lingkungannya dalam kaitannya dengan bencana untuk kemudian dilakukan analisis ancaman, kerentanan dan kapasitas yang dimilikinya. Berdasarkan fokus kegiatan tersebut, serangkaian metode dan instrument kajian (atau bisa juga disebut penelitian) perlu disusun dengan cermat sehingga maksud dan tujuan kajian dapat tercapai. Pemahaman itulah yang coba disampaikan pada tim sehingga pada prosesnya, mereka juga akan terlibat dalam menyusun suatu metode odan instrumen kajian yang akan digunakan dalam program ini. Sebagai pemahaman awal, materi mengenai jenis-jenis instrument dalam penelitian (kajian) disampaikan dalam sesi ini untuk kemudian dapat disesuaikan dengan kebutuhan kajian.

Dalam sesi ini, peranan pengalaman yang dimiliki masing-masing peserta sangat penting untuk diceritakan karena dari sini tim dapat mengambil pembelajaran yang diterapkan dalam melaksanakan kajian ini. Pengalaman menjadi pendamping atau fasilitator juga sangat membantu sehingga penyampaian pemahaman mengenai alat-alat kajian yang akan digunakan ini menjadi lebih mudah dipahami. Namun begitu, mereka juga merasa pada alat-alat kajian ini terlihat lebih detail, lengkap dan jelas dibanding alat kajian yang pernah mereka gunakan dalam proyek yang pernah mereka kerjakan sebelumnya. Pada sesi ini, juga dilakukan pembagian desa sebagai wilayah tanggung jawab dari masing-masing fasilitator. Dalam hal ini, mereka diberikan kebebasan untuk menentukan wilayah kerjanya (desa) sendiri dengan pertimbangan pengalaman dan pengetahuan masing-masing fasilitator mengenai daerah yang dipilihnya. Dari sini, dapat terlihat proses partisipatif yang dibangun selama masa pelatihan yang pada akhirnya melahirkan rasa tanggung jawab yang lebih besar.

4.       Diskusi dan simulasi alat kajian
Dari hasil diskusi pada sesi sebelumnya, yang pada akhirnya ditentukan juga jenis-jenis instrumen apa saja yang akan digunakan dalam kajian, maka pada sesi ini dilakukan simulasi terhadap beberapa instrumen kajian yang telah disepakati akan digunakan. Hal ini bertujuan agar peserta (tim) memahami teknik dan trik yang dilakukan saat memfasilitasi pada setiap instrumen yang digunakan. Selesai simulasi, tiap peserta dan fasilitator saling memberikan masukan dan komentar yang terjadi selama proses simulasi dilakukan. Diskusi berjalan sangat dinamis dan dialogis. Peserta (tim) mengutarakan pendapat dan pertanyaan dengan berani dan kritis, hal ini menunjukkan sikap keingintahuan dan mau belajar yang tinggi antar anggota tim. Saran dan masukan dalam simulasi menjadi bahan pembelajaran yang sangat berarti bagi setiap fasilitator dan tim lainnya.

proses simulasi instrumen kajian di dalam kelas

5.       Diskusi rencana kerja dan persiapan uji coba
Diskusi pembahasan rencana kerja dan jadwal pelaksanaan kegiatan ini didasarkan pada pedoman proyek yang disusun dalam proposal program. Pembahasan mengenai teknis kegiatan sepanjang rencana kerja yang telah ditetapkan sangat dinamis. Masing-masing staf memberikan ide dan masukan terhadap kegiatan yang akan dilaksanakan khususnya untuk implementasi  kajian di desa. Untuk mendapatkan gambaran dan pembelajaran yang sebenarnya  mengenai instrument kajian yang digunakan, direncanakan juga untuk melakukan uji coba instrument kajian pada salah satu desa yang menjadi wilayah kerja program. Dalam rangka persiapan pelaksanaan ujicoba tersebut, tim membuat format-format tabel untuk instrument kalender musim dan diagram venn. Sebelumnya, tim telah membagi-bagi tugas dan perannya terlebih dahulu. Penulisan format ke dalam kertas plano ini bertujuan untuk memudahkan fasilitator dalam melaksanakan kajian nantinya sehingga tidak perlu repot lagi dalam membuat tabel-tabel yang akan diisi. Antusiasme tim dapat terlihat dalam persiapan ini dengan berinisiatif melakukan pembagian peran dan tugas masing-masing orang dan menyusun scenario fasilitasi saat pelaksanaan kajian nantinya. 

****

Tuesday 5 March 2013

Pada awalnya.. (bagian 1)

: tentang proses pencarian dan komitmen




Dalam melaksanakan tugas-tugas pemberdayaan, sebuah LSM harus memiliki komitmen penuh untuk bekerja dengan masyarakat. Dalam hal ini, bukanlah lembaga sebagai sebuah institusi yang dituntut atas komitmen tersebut, melainkan orang-orang yang berada di dalamnya. Hal tersebut didasari pada kesadaran bahwa dengan komitmen, seseorang akan dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya untuk dapat mencapai tujuan pemberdayaan itu sendiri (tentunya sesuai dengan aturan-aturan yang telah dibuat dan disepakati bersama). Namun, patut disadari bahwa komitmen saja tidak cukup dalam upaya pemberdayaan masyarakat. Para penggiat masyarakat ini (begitu saya menyebutnya) juga wajib mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang mantap tentang pemberdayaan masyarakat itu sendiri beserta teknik-teknik memfasilitasi masyarakat dalam mewujudkan masyarakat yang mandiri. Pengetahuan yang diberikan tentunya diintegrasikan dengan tema atau isu yang diangkat dalam program yang diselenggarakan (dalam hal ini adalah pengurangan risiko bencana yang terintegrasi dengan perubahan iklim dan manajemen lingkungan). Kesadaran akan pentingnya menyampaikan pengetahuan dan pemahaman kepada para penggiat masyarakat inilah yang membuat BSK membuat pelatihan kepada timnya sebagai bekal sebelum mereka turun lapangan. Selain dapat membangun pemahaman bersama mengenai konsep pengurangan risiko bencana yang terintegrasi dengan perubahan iklim dan manajemen lingkungan, melalui proses ini kerjasama anggota tim juga dapat terbangun. 

Proses rekrutmen tim
Untuk mendapatkan orang-orang yang mempunyai komitmen penuh dalam menjalankan tugas-tugas pemberdayaan masyarakat, proses rekrutmen yang objektif sangat diperlukan. Ohya, dalam proses ini, perekrutan orang/penduduk setempat (lokal) sebagai fasilitator atau tenaga pendamping nantinya mempunyai keuntungan tersendiri. Selain karena dapat membuka lapangan kerja bagi penduduk setempat, perekrutan tenaga pendamping lokal dinilai dapat membuat proses kegiatan program dapat berjalan lebih efektif karena mereka memahami karakteristik masyarakat, budaya, lingkungan setempat dan tentunya bahasa lokal yang dapat sangat mempengaruhi keberhasilan program. Oleh karena itu, tim perekrut juga harus pandai-pandai memilih dan menentukan orang-orang yang akan bergabung menjadi tim program. Tim perekrut dapat mengidentifikasinya melalui latar belakang pendidikan dan pengalaman dalam bidang pemberdayaan yang tercantum dalam daftar riwayat hidup yang mereka kirimkan, untuk kemudian dapat diperdalam dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan terkait pengalaman di bidang pemberdayaan pada sesi wawancara. Melalui proses ini juga dapat diidentifikasi kebutuhan terhadap materi yang akan diberikan selama proses pelatihan dan penguatan tim dengan melihat pengetahuan dan keterampilan memfasilitasi mereka pada saat sesi wawancara.

Dalam hal lain, sebagai salah satu daerah yang mempunyai permasalahan kompleks baik di tingkat pemerintahan maupun tingkat grassroot, Provinsi NTT khususnya Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) menjadi magnet bagi banyak LSM baik internasional maupun lokal atau nasional untuk berbondong-bondong menyelenggarakan program pemberdayaannya di sini. Hal ini menjadi keuntungan sekaligus tantangan tersendiri bagi BSK. Di satu sisi, melalui keberadaan lembaga-lembaga ini, BSK dapat berjejaring dan bersinergi dalam melaksanakan setiap kegiatannya. Namun di sisi lain, keterbatasan sumber daya manusia (SDM) terlebih yang memiliki pemahaman dan berpengalaman dalam kegiatan pemberdayaan memaksa BSK untuk lebih giat mencari dan menghubungi pihak-pihak yang pernah bekerjasama dengannya. Hal ini juga yang menjadikan proses rekrutmen menjadi lebih lama dari yang direncanakan. Dengan berbekal nomor kontak beberapa pihak yang pernah bekerjasama dengan BSK dalam penyelenggaraan program di TTS, singkat kata, BSK mendapatkan beberapa pelamar yang memiliki pengalaman dalam bidang pemberdayaan. Karena dengan melihat dokumen riwayat hidup saja tidak cukup untuk dapat mendapatkan SDM yang sesuai dengan criteria yang dibutuhkan dalam program, maka tim rekrutmen mengadakan sesi rekrutmen lanjutan dengan beberapa agenda inti yaitu wawancara, diskusi singkat dan sharing pengetahuan dasar mengenai beberapa persoalan yang menjadi tema program (lingkungan dan  pengurangan risiko bencana dengan mengarusutamakan isu gender) serta simulasi fasilitasi masyarakat dengan persoalan tersebut. Dengan beberapa teknik yang dilakukan dalam proses rekrutmen tersebut, dapat diidentifikasi dan diperoleh gambaran secara utuh mengenai pengetahuan, pemahaman dan keterampilan yang dimiliki oleh para pelamar dalam bidang pemberdayaan masyarakat. 


*****

Monday 4 March 2013

Inilah Kami!



Menjadi tenaga pemberdayaan masyarakat ibarat menanam bibit untuk kelangsungan hidup. Kita harus mengetahui karakteristik tanah, jenis bibit, dan pengelolaannya. Jika bibit atau jenis tanaman yang ditanam tidak sesuai dengan karakter tanah ataupun pengelolaannya tidak tepat, maka hasilnya akan jauh dari harapan. Hal itulah yang menjadi dasar pemikiran (atau semacam keyakinan) yang wajib dimiliki para penggiat masyarakat, baik organisasi non pemerintah maupun pemerintah itu sendiri, dalam melaksanaan setiap programnya. Para penggiat (program pemberdayaan) masyarakat harus mengetahui dan memahami terlebih dahulu karakter masyarakat yang akan menjadi mitranya. Kata ‘mitra’ di sini memiliki makna yang besar yaitu masyarakat terlibat secara utuh sebagai penyelenggara program atau upaya pemberdayaan itu sendiri. Dengan kata lain, menempatkan masyarakat sebagai obyek dalam upaya pemberdayaan masyarakat adalah sebuah dosa besar. Masyarakat yang memiliki pengetahuan dan pemahaman utuh mengenai kehidupan dan lingkungannya pada akhirnya akan lebih mengetahui apa yang menjadi kebutuhan dalam upaya kelangsungan hidup mereka. Penggiat pemberdayaan masyarakat, dalam hal ini adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) memiliki peran untuk memfasilitasi masyarakat dalam mengungkapkan situasi dan kondisi yang dihadapinya demi mencapai kondisi yang dicita-citakan : sejahtera. Tentunya dengan memfokuskan upaya fasilitasi tersebut pada suatu tema yang diusung karena (tidak dapat dipungkiri) LSM juga harus mempertimbangkan keterbatasan sumber daya yang ada.

Bina Swadaya Konsultan (BSK) sebagai salah satu lembaga jasa konsultansi nasional yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat merupakan LSM yang berisi para penggiat masyarakat yang berkomitmen menjadikan masyarakat sebagai mitra dalam tiap program pemberdayaan masyarakat yang diselenggarakannya. Tak terkecuali dalam program pengurangan risiko bencana (PRB) yang dilakukannya di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur. Program Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Masyarakat (PRB-BM) adalah sebuah proses pemberdayaan masyarakat yang partisipatif dalam mengelola bencana baik sebelum, pada saat, dan sesudah terjadi bencana.  Dalam program ini masyarakat diajak melakukan kajian bencana, membuat perencanaan mengelola bencana, dan melaksanakannya melalui kelompok swadaya masyarakat (KSM) dengan melibatkan para pemangku kepentingan. Diharapkan melalui program ini, masyarakat mampu mengelola risiko bencana secara mandiri  untuk menghindari, mengendalikan risiko, mengurangi maupun memulihkan dari dampak bencana. Sehingga pada akhirnya kesadaran akan bencana yang bukan semata-mata takdir yang tidak dapat dihindari melainkan juga dampak akumulatif dari apa yang diperbuat manusia terhadap alamnya, dapat muncul di  masyarakat. Lebih jauh  lagi, masyarakat dapat membentuk suatu mekanisme pencegahan dan pengurangan risiko bencana yang sesuai dengan lingkungannya sehingga pada akhirnya dapat menunjang upaya mereka dalam menciptakan kehidupan yang harmonis dan sejahtera. Di sinilah, BSK melalui timnya yang berkomitmen penuh sebagai pendamping masyarakat dalam program PRB mewujudkan cita-cita tersebut. Dan inilah kami!


tim BSK Soe, TTS, NTT

Tuesday 29 January 2013

Participatory (Disaster) Rural Appraisal

(bagian 1)

Pengurangan risiko bencana (PRB) merupakan salah satu isu yang mulai berkembang dan menjadi wacana untuk diarusutamakan dalam setiap elemen kehidupan masyarakat. Kesadaran akan pentingnya upaya pengurangan risiko bencana ini telah muncul pada decade 1990-1999 yang dicanangkan sebagai dekade pengurangan risiko bencana internasional.

Pemahaman mengenai bencana yang selama ini berkembang di masyarakat lebih dipahami sebagai suatu yang sifatnya alamiah (fenomena alam) dan tidak dapat dicegah atau dikendalikan. Namun, seiring perkembangan pengetahuan dan teknologi, pemahaman konvensional tentang kebencanaan yang lebih berfokus pada upaya tanggap darurat (manajemen krisis) ini menemui masa peralihannya. Perubahan pemahaman ini sedikit banyak dipengaruhi oleh para akademisi yang mempunyai pandangan bahwa bencana bukan semata-mata fenomena alam yang tidak dapat dicegah, akan tetapi merupakan kejadian yang dapat diprediksi dan diminimalisir dampaknya. Paradigma baru ini pada akhirnya menggiring aksi penanganan bencana yang semula bersifat kedaruratan menjadi suatu aksi terencana dan terkoordinir dalam upaya manajemen risiko.

Eko Paripurno, seorang pegiat dalam Komunitas Pencinta Alam Pemerhati Lingkungan (KAPPALA) dalam pengantar bukunya mengenai penerapan PRA dalam penanggulangan bencana, meluncurkan kritikan tentang program-program penanggulangan bencana yang diselenggarakan pemerintah maupun lembaga non-pemerintah. Dengan sinisnya Beliau mengatakan bahwa banyak pihak merasa bahwa program-program penanggulangan bencana yang ada cukup mewadahi partisipasi masyarakat, tetapi nyatanya program tersebut masih disusun secara konvensional. Program direncanakan dan dipersiapkan oleh lembaga penyelenggara tanpa melibatkan masyarakat yang menjadi subyek program tersebut. Kalaupun disadari bahwa perencanaan program perlu dimulai dengan penjajagan kebutuhan masyarakat, hal itu dilakukan berdasarkan survey searah yang pada akhirnya lembaga penyelenggara programlah yang mempunyai keputusan atas penjajagan itu. Akibatnya, muncullah kesenjangan antara peneliti (dalam hal ini lembaga penyelenggara) dengan kenyataan yang sebenarnya. Penelitian terlalu akademis sering diwarnai oleh persepsi penelitinya, sehingga hasilnya menjadi kaku dan tidak lagi relevan dengan keberadaan masyarakat.

Atas dasar itulah,kemudian lahir dan berkembang pendekatan partisipatif dalam penyusunan suatu program. Partisipatif dalam hal ini berarti melibatkan masyarakat dalam setiap proses atau tahap kegiatan dalam program, terlebih dalam proses penjajagan (kajian) kebutuhan. Masyarakat yang diposisikan sebagai subyek (bukan obyek) menjadi mitra lembaga penyelenggara program, bersinergi dan pada akhirnya tujuan besar bersama dalam mewujudkan kondisi yang lebih baik dapat tercapai. Mungkin hal ini terdengar sangat naïf. Tetapi siapa yang lebih mengenal seseorang selain dirinya sendiri? Begitu juga dengan masyarakat. Lebih dari itu, upaya pelibatan masyarakat (partisipatif) dalam perencanaan program juga dapat menjadi sarana penyadaran awal bagi masyarakat mengenai segala permasalahan, kebutuhan serta potensi dan kapasitas yang mereka miliki dalam memecahkan masalah yang ada di lingkungannya.

Seiring perkembangan pemahaman mengenai kajian partisipatif tersebut, Partisipatory Rural Appraisal (PRA) semakin dikenal dalam dunia penelitian. PRA dianggap telah terbukti dapat menjawab kebutuhan dalam rangka perencanaan program yang bersifat bottom-up. Tak terkecuali dalam upaya pengurangan risiko bencana yang sedang gencar belakangan. Penekanan PRA dalam upaya pengurangan risiko bencana ini bercita-cita menjadikan masyarakat sebagai pemilik, perencana dan pelaksana program, bukan obyek semata. Sehingga, sinergitas berbagai pihak dalam menyelenggarakan upaya pengurangan risiko bencana dalam kehidupan masyarakat menjadi salah satu kunci terwujudnya masyarakat tangguh bencana : masyarakat yang sadar akan ancaman bencana dan risiko yang dihadapi  serta mampu membuat strategi dalam meminimalisir risiko tersebut.

----------------------------
Referensi :

IIRR, Cordaid. (2007). Membangun Ketahanan Masyarakat :Buku Panduan Pengurangan Risiko Bencana Oleh Masyarakat. Filipina: IIPP dan Cordaid.

UNDP. (2006). Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana Tahun 2006-2009. Jakarta : Perum Percetakan Negara RI.

Cordaid, Bina Swadaya. (2009). Menapak Jejak Pengurangan Risiko Bencana oleh Masyarakat. Jakarta : Bina Swadaya.

Paripurno, Eko Teguh. (2007). Penerapan PRA dalam Penanggulangan Bencana. Yogyakarta : KAPPALA.