Friday 8 March 2013

Uji Coba Instrumen Kajian : sebuah refleksi dan pembelajaran


Pengalaman adalah guru terbaik. Begitulah orang bijak berpetuah. Dalam banyak hal, pengalaman baik itu menyenangkan maupun pengalaman buruk sekalipun, akan memberikan pelajaran. “Dengan mendengar maka kita akan tahu, dengan melihat maka kita akan mengingat, dan dengan melakukan maka kita akan merasakan” adalah pepatah usang yang semakin menegaskan bahwa proses belajar yang paling baik tidak hanya dengan mendengarkan dan membaca melainkan juga dengan ikut terlibat di dalamnya. Atas dasar itulah kegiatan uji coba instrumen kajian dilakukan sebagai tahap awal pelaksanaan program PRB ini. Karena tujuan awal program ini berfokus pada pengidentifikasian kondisi masyarakat terkait isu PRB, perubahan iklim dan manajemen ekosistem, maka memastikan ketepatan instrumen dan teknik (metodologi) yang digunakan dalam kajian adalah hal yang perlu dilakukan. Mengapa perlu? Hal ini jelas tergambar pada kalimat pembuka tulisan ini, bahwa dengan tim melakukan ujicoba (simulasi) kajian dengan beberapa instrumen yang telah ditentukan maka mereka akan dapat mengambil pelajaran dan merefleksikan hal-hal yang dapat mendukung dan menghambat dalam pelaksanaan kajian nantinya. Sebagai informasi, terdapat beberapa instrumen kajian yang direncanakan akan digunakan selama kajian diantaranya peta desa, transek desa, pedoman wawancara sejarah desa, diagram venn, kalender musim (mata pencaharian, kegiatan kemasyarakatan, dan musim kebencanaan), kuisioner profil pendapatan dan pengeluaran keluarga,  jam aktivitas keluarga, identifikasi akses dan kontrol, serta peringkat kesejahteraan. Namun, karena keterbatasan waktu, ujicoba terhadap semua instrumemen tersebut menjadi tidak mungkin. Sehingga pada akhirnya, tim memutuskan menguji dua instrumen kajian yang dianggap dapat mengungkapkan informasi-informasi dasar kajian, yaitu peta desa dan kalender musim. Beberapa pembelajaran yang didapat dari hasil ujicoba kedua instrumen diantaranya :

Refleksi teknik memfasilitasi
Selama proses ujicoba, tim memiliki kesempatan untuk memfasilitasi instrumen yang digunakan. Dalam kesempatan itu jugalah, mereka dapat merasakan pengalaman dan mengambil pelajaran sebagai fasilitator dalam kegiatan kajian. Dari pengalaman memfasilitasi ini, pada akhirnya tim dapat mengevaluasi hal-hal negatif dan positif berkaitan dengan teknik fasilitasi yang dilakukan oleh masing-masing orang, seperti gaya berbicara, posisi badan, suara, sampai ke hal-hal ‘sepele’ tapi penting seperti teknik menulis dan ukuran tulisan di flipchart/papan tulis, penempatan media (flipchart, karton, gambar, dll), dan kebiasaan seorang fasilitator saat memfasilitasi. Dengan berbagi cerita dan saling memberikan penilaian masing-masing fasilitator saat sesi refleksi dan evaluasi kegiatan uji coba, keterampilan anggota tim sebagai fasilitator saat kajian nantinya dapat semakin baik.


fasilitator sedang memfasilitasi kajian menggunakan instrumen kajian 'kalender musim'
dalam kegiatan uji coba
teknik menulis dan penggunaan media fasilitasi
menjadi catatan penting bagi fasilitator dalam memfasilitasi 

Refleksi proses kajian
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, bahwa kegiatan ujicoba dilakukan dengan tujuan memastikan ketepatan instrumen dan teknik (metodologi) yang digunakan dalam kajian. Dengan kata lain, kegiatan ini dapat merefleksikan proses kajian yang sesungguhnya. Melalui kegiatan ini, fasilitator dapat merasakan dan memperoleh gambaran mengenai situasi saat proses kajian, reaksi masyarakat yang hadir dan terlibat (ujicoba mengundang perwakilan aparat pemerintah desa, perwakilan organisasi/lembaga masyarakat, dan perwakilan masyarakat itu sendiri), dan berbagai permasalahan yang mungkin terjadi saat proses kajian berlangsung. Dari pengalaman inilah pada akhirnya masing-masing fasilitator dapat belajar untuk menyusun strategi dan trik-trik khusus untuk memperlancar jalannya diskusi dalam kajian. Sebagai contoh, saat fasilitator merasakan reaksi bahwa peserta kajian mulai bosan dan jenuh dengan kegiatan yang berjalan, fasilitator dapat mengambil inisiatif untuk melakukan ice breaking dengan permainan yang melibatkan seluruh peserta. Tujuannya agar kejenuhan peserta dapat hilang dan mereka dapat kembali berkonsentrasi mengikuti kegiatan.
suasana saat memfasilitasi masyarakat dalam pembuatan peta desa

Refleksi (konten) instrumen kajian
Dalam menentukan instrumen kajian, tim juga mendiskusikan hal-hal teknis seperti menyusun panduan pertanyaan dalam setiap instrument kajian, menentukan media yang digunakan, dan waktu pelaksanaannya. Penyusunan panduan tersebut didasarkan pada beberapa referensi (buku dan laporan kajian yang serupa) serta pengalaman dalam hal kajian. Namun, dalam kenyataannya terdapat beberapa hal (teknis) yang tidak dapat diterapkan sama pada semua masyarakat. Artinya, antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lain yang notabene memiliki karakternya masing-masing membuat teknik memfasilitasi yang dilakukan fasilitator juga berbeda-beda. Sebagai contoh, masyarakat Desa Noebesa, TTS, NTT (tempat pelaksanaan ujicoba) yang sebagian besar mata pencaharian penduduknya adalah berkebun menjadi pertimbangan tersendiri bagi tim dalam melakukan wawancara dan FGD keluarga. Sehingga pada akhirnya, wawancara yang pada umumnya dilakukan di ruang khusus, membuat tim memutuskan untuk melakukan wawancara di kebun atau di rumah masyarakat (informan) sehingga diharapkan tidak menganggu kegiatan mereka dalam mencari nafkah. Dalam hal lain, melalui kegiatan ujicoba ini, tim dapat mendiskusikan kembali mengenai detail pertanyaan panduan dalam setiap instrument kajian, sehingga pertanyaan tersebut apakah sesuai dengan masyarakat dan dapat menjawab tujuan yang diharapkan dalam kajian atau tidak. 

Wednesday 6 March 2013

Pada awalnya.. (bagian 2)


: tentang peningkatan kapasitas dan penguatan tim

Seperti yang dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara bahwa proses pembelajran dapat diperoleh dari keluarga, lembaga pendidikan (sekolah) dan masyarakat. Dalam dunia pemberdayaan, masyarakat adalah sumber segala ilmu bagi para penggiat masyarakat dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa para penggiat ini juga memerlukan bekal yang cukup terlebih dahulu untuk dapat memperoleh ilmu lainnya saat terjun ke masyarakat. Bekal pengetahuan inilah yang pada akhirnya menjadi landasan dalam melaksanakan tugas-tugas pemberdayaan dengan memperhatikan tujuan besar program yang akan dicapai. Pemberian bekal mengenai pengetahuan visi misi program, kode etik, pemahaman konsep yang diusung dalam program, serta hal-hal teknis dalam pelaksanaan tugas pemberdayaan masyarakat (khususnya teknik memfasilitasi masyarakat) menjadi materi yang wajib disampaikan dalam proses pelatihan dan penguatan tim.

Dalam penyampaian materi selama pelatihan, fasilitator menggunakan pendekatan andragogi atau pembelajaran orang dewasa (POD). Dalam pendekatan ini, tim program sebagai peserta pelatihan adalah orang dewasa yang dianggap sudah mempunyai konsep diri, yaitu kepribadian yang tidak bergantung pada orang lain, mempunyai banyak pengalaman dan pengalaman ini menjadi penting, mempunyai kesiapan belajar yang diprioritaskan pada tugas-tugas perkembangan dan peran sosialnya, serta orang yang mempunyai prospektif waktu dalam arti secepatnya mengaplikasikan apa yang ia pelajari. Atas dasar itulah, teknik-teknik yang digunakan dalam andragogi ini menjadi berbeda dengan teknik dalam pembelajaran anak-anak (pedagogi). Pada andragogi, diciptakan suasana hubungan sama status antara fasilitator dan peserta artinya terjadi proses saling membelajarkan diri dan menuntut seluruh peserta pelatihan berpartisipasi aktif. Dalam konteks ini, pembelajaran orang dewasa terlihat selama proses pelatihan tim yang diberikan oleh BSK kepada timnya dalam Program Pengurangan Risiko Bencana (PRB) terintegrasi perubahan iklim dan manajemen lingkungan.

Proses pelatihan tim
Dalam pelatihan (yang juga bisa disebut sebagai proses penguatan tim) yang berlangsung selama 5 hari ini, terdapat beberapa materi yang memuat pengetahuan-pengetahuan dasar tentang konsep yang diangkat dalam pelaksanaan program ini, yaitu tentang konsep pengurangan risiko bencana (PRB), perubahan iklim dan manajemen ekosistem. Untuk mengawali pemberian materi tersebut, terlebih dahulu tim diberikan pemahaman tentang BSK sebagai salah satu lembaga yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat dan mengenai program PRB yang dijalankan sebagai refleksi dari komitmen pemberdayaan masyarakat yang diusungnya.

1.       Pengenalan lembaga dan program
Sesi pengenalan lembaga dan program disampaikan dengan metode presentasi menggunakan video (pemutaran film pendek/dikumenter) dan bagan singkat mengenai latar belakang dan tujuan program. Hal ini dilakukan karena media visual dianggap lebih efektif dalam penyampaian pesan dibanding dengan teknik ceramah. selesai pemutaran video, fasilitator mengajak peserta untuk menyimpulkan isi dari video yang ditampilkan. Sedangkan untuk penjelasan mengenai bagan program, fasilitator memaparkan satu per satu bagian bagan sehingga gambaran mengenai visi misi dan strategi program dapat ditangkap oleh peserta dengan jelas.

2.       Pemahaman dasar konsep PRB-ekosistem-perubahan iklim
Pada sesi ini, fasilitator tetap menggunakan teknik pemutaran film dokumenter mengenai bencana, lingkungan dan perubahan iklim. Dari setiap film yang diputarkan, fasilitator kembali mengajak peserta untuk menceritakan maksud dan pesan yang disampaikan oleh film. Lebih jauh lagi, fasilitator mencoba menggali informasi dan pemahaman peserta menganai tema yang diangkat dalam film. Dalam hal ini, dapat dikatakan materi yang diberikan mengenai tiga konsep dasar yang digunakan sebagai dasar program (PRB, perubahan iklim, dan manajemnn ekosistem) masih pada tataran yang sangat dasar. Minimnya pemahaman mendalam dan sumber bacaan mengenai konsep-konsep ini baik oleh fasilitator maupun peserta, membuat sesi ini lebih diisi dengan diskusi dan sharing pengetahuan tentang konsep-konsep tersebut. Hal ini dapat menjadi bahan refleksi dalam pelaksanaan pelatihan tim ke depannya bahwa keberadaan nara sumber yang memiliki pengetahuan yang utuh tentang konsep atau tema yang diangkakt dalam propgram, sangat diperlukan. Namun begitu, dari sinilah proses pembelajaran antara fasilitator dan peserta dapat terbangun lebih baik.

tim memperhatikan film pendek yang diputar saat sesi pelatihan


3.       Pemahaman instrumen kajian PRB terintegrasi
Sebagai awal pelaksanaan program PRB, fokus kegiatan yang dilakukan oleh tim selama beberapa bulan ke depan adalah lebih kepada pengkajian (assessment) terhadap kondisi masyarakat (di 4 desa di TTS, NTT) dan lingkungannya dalam kaitannya dengan bencana untuk kemudian dilakukan analisis ancaman, kerentanan dan kapasitas yang dimilikinya. Berdasarkan fokus kegiatan tersebut, serangkaian metode dan instrument kajian (atau bisa juga disebut penelitian) perlu disusun dengan cermat sehingga maksud dan tujuan kajian dapat tercapai. Pemahaman itulah yang coba disampaikan pada tim sehingga pada prosesnya, mereka juga akan terlibat dalam menyusun suatu metode odan instrumen kajian yang akan digunakan dalam program ini. Sebagai pemahaman awal, materi mengenai jenis-jenis instrument dalam penelitian (kajian) disampaikan dalam sesi ini untuk kemudian dapat disesuaikan dengan kebutuhan kajian.

Dalam sesi ini, peranan pengalaman yang dimiliki masing-masing peserta sangat penting untuk diceritakan karena dari sini tim dapat mengambil pembelajaran yang diterapkan dalam melaksanakan kajian ini. Pengalaman menjadi pendamping atau fasilitator juga sangat membantu sehingga penyampaian pemahaman mengenai alat-alat kajian yang akan digunakan ini menjadi lebih mudah dipahami. Namun begitu, mereka juga merasa pada alat-alat kajian ini terlihat lebih detail, lengkap dan jelas dibanding alat kajian yang pernah mereka gunakan dalam proyek yang pernah mereka kerjakan sebelumnya. Pada sesi ini, juga dilakukan pembagian desa sebagai wilayah tanggung jawab dari masing-masing fasilitator. Dalam hal ini, mereka diberikan kebebasan untuk menentukan wilayah kerjanya (desa) sendiri dengan pertimbangan pengalaman dan pengetahuan masing-masing fasilitator mengenai daerah yang dipilihnya. Dari sini, dapat terlihat proses partisipatif yang dibangun selama masa pelatihan yang pada akhirnya melahirkan rasa tanggung jawab yang lebih besar.

4.       Diskusi dan simulasi alat kajian
Dari hasil diskusi pada sesi sebelumnya, yang pada akhirnya ditentukan juga jenis-jenis instrumen apa saja yang akan digunakan dalam kajian, maka pada sesi ini dilakukan simulasi terhadap beberapa instrumen kajian yang telah disepakati akan digunakan. Hal ini bertujuan agar peserta (tim) memahami teknik dan trik yang dilakukan saat memfasilitasi pada setiap instrumen yang digunakan. Selesai simulasi, tiap peserta dan fasilitator saling memberikan masukan dan komentar yang terjadi selama proses simulasi dilakukan. Diskusi berjalan sangat dinamis dan dialogis. Peserta (tim) mengutarakan pendapat dan pertanyaan dengan berani dan kritis, hal ini menunjukkan sikap keingintahuan dan mau belajar yang tinggi antar anggota tim. Saran dan masukan dalam simulasi menjadi bahan pembelajaran yang sangat berarti bagi setiap fasilitator dan tim lainnya.

proses simulasi instrumen kajian di dalam kelas

5.       Diskusi rencana kerja dan persiapan uji coba
Diskusi pembahasan rencana kerja dan jadwal pelaksanaan kegiatan ini didasarkan pada pedoman proyek yang disusun dalam proposal program. Pembahasan mengenai teknis kegiatan sepanjang rencana kerja yang telah ditetapkan sangat dinamis. Masing-masing staf memberikan ide dan masukan terhadap kegiatan yang akan dilaksanakan khususnya untuk implementasi  kajian di desa. Untuk mendapatkan gambaran dan pembelajaran yang sebenarnya  mengenai instrument kajian yang digunakan, direncanakan juga untuk melakukan uji coba instrument kajian pada salah satu desa yang menjadi wilayah kerja program. Dalam rangka persiapan pelaksanaan ujicoba tersebut, tim membuat format-format tabel untuk instrument kalender musim dan diagram venn. Sebelumnya, tim telah membagi-bagi tugas dan perannya terlebih dahulu. Penulisan format ke dalam kertas plano ini bertujuan untuk memudahkan fasilitator dalam melaksanakan kajian nantinya sehingga tidak perlu repot lagi dalam membuat tabel-tabel yang akan diisi. Antusiasme tim dapat terlihat dalam persiapan ini dengan berinisiatif melakukan pembagian peran dan tugas masing-masing orang dan menyusun scenario fasilitasi saat pelaksanaan kajian nantinya. 

****

Tuesday 5 March 2013

Pada awalnya.. (bagian 1)

: tentang proses pencarian dan komitmen




Dalam melaksanakan tugas-tugas pemberdayaan, sebuah LSM harus memiliki komitmen penuh untuk bekerja dengan masyarakat. Dalam hal ini, bukanlah lembaga sebagai sebuah institusi yang dituntut atas komitmen tersebut, melainkan orang-orang yang berada di dalamnya. Hal tersebut didasari pada kesadaran bahwa dengan komitmen, seseorang akan dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya untuk dapat mencapai tujuan pemberdayaan itu sendiri (tentunya sesuai dengan aturan-aturan yang telah dibuat dan disepakati bersama). Namun, patut disadari bahwa komitmen saja tidak cukup dalam upaya pemberdayaan masyarakat. Para penggiat masyarakat ini (begitu saya menyebutnya) juga wajib mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang mantap tentang pemberdayaan masyarakat itu sendiri beserta teknik-teknik memfasilitasi masyarakat dalam mewujudkan masyarakat yang mandiri. Pengetahuan yang diberikan tentunya diintegrasikan dengan tema atau isu yang diangkat dalam program yang diselenggarakan (dalam hal ini adalah pengurangan risiko bencana yang terintegrasi dengan perubahan iklim dan manajemen lingkungan). Kesadaran akan pentingnya menyampaikan pengetahuan dan pemahaman kepada para penggiat masyarakat inilah yang membuat BSK membuat pelatihan kepada timnya sebagai bekal sebelum mereka turun lapangan. Selain dapat membangun pemahaman bersama mengenai konsep pengurangan risiko bencana yang terintegrasi dengan perubahan iklim dan manajemen lingkungan, melalui proses ini kerjasama anggota tim juga dapat terbangun. 

Proses rekrutmen tim
Untuk mendapatkan orang-orang yang mempunyai komitmen penuh dalam menjalankan tugas-tugas pemberdayaan masyarakat, proses rekrutmen yang objektif sangat diperlukan. Ohya, dalam proses ini, perekrutan orang/penduduk setempat (lokal) sebagai fasilitator atau tenaga pendamping nantinya mempunyai keuntungan tersendiri. Selain karena dapat membuka lapangan kerja bagi penduduk setempat, perekrutan tenaga pendamping lokal dinilai dapat membuat proses kegiatan program dapat berjalan lebih efektif karena mereka memahami karakteristik masyarakat, budaya, lingkungan setempat dan tentunya bahasa lokal yang dapat sangat mempengaruhi keberhasilan program. Oleh karena itu, tim perekrut juga harus pandai-pandai memilih dan menentukan orang-orang yang akan bergabung menjadi tim program. Tim perekrut dapat mengidentifikasinya melalui latar belakang pendidikan dan pengalaman dalam bidang pemberdayaan yang tercantum dalam daftar riwayat hidup yang mereka kirimkan, untuk kemudian dapat diperdalam dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan terkait pengalaman di bidang pemberdayaan pada sesi wawancara. Melalui proses ini juga dapat diidentifikasi kebutuhan terhadap materi yang akan diberikan selama proses pelatihan dan penguatan tim dengan melihat pengetahuan dan keterampilan memfasilitasi mereka pada saat sesi wawancara.

Dalam hal lain, sebagai salah satu daerah yang mempunyai permasalahan kompleks baik di tingkat pemerintahan maupun tingkat grassroot, Provinsi NTT khususnya Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) menjadi magnet bagi banyak LSM baik internasional maupun lokal atau nasional untuk berbondong-bondong menyelenggarakan program pemberdayaannya di sini. Hal ini menjadi keuntungan sekaligus tantangan tersendiri bagi BSK. Di satu sisi, melalui keberadaan lembaga-lembaga ini, BSK dapat berjejaring dan bersinergi dalam melaksanakan setiap kegiatannya. Namun di sisi lain, keterbatasan sumber daya manusia (SDM) terlebih yang memiliki pemahaman dan berpengalaman dalam kegiatan pemberdayaan memaksa BSK untuk lebih giat mencari dan menghubungi pihak-pihak yang pernah bekerjasama dengannya. Hal ini juga yang menjadikan proses rekrutmen menjadi lebih lama dari yang direncanakan. Dengan berbekal nomor kontak beberapa pihak yang pernah bekerjasama dengan BSK dalam penyelenggaraan program di TTS, singkat kata, BSK mendapatkan beberapa pelamar yang memiliki pengalaman dalam bidang pemberdayaan. Karena dengan melihat dokumen riwayat hidup saja tidak cukup untuk dapat mendapatkan SDM yang sesuai dengan criteria yang dibutuhkan dalam program, maka tim rekrutmen mengadakan sesi rekrutmen lanjutan dengan beberapa agenda inti yaitu wawancara, diskusi singkat dan sharing pengetahuan dasar mengenai beberapa persoalan yang menjadi tema program (lingkungan dan  pengurangan risiko bencana dengan mengarusutamakan isu gender) serta simulasi fasilitasi masyarakat dengan persoalan tersebut. Dengan beberapa teknik yang dilakukan dalam proses rekrutmen tersebut, dapat diidentifikasi dan diperoleh gambaran secara utuh mengenai pengetahuan, pemahaman dan keterampilan yang dimiliki oleh para pelamar dalam bidang pemberdayaan masyarakat. 


*****

Monday 4 March 2013

Inilah Kami!



Menjadi tenaga pemberdayaan masyarakat ibarat menanam bibit untuk kelangsungan hidup. Kita harus mengetahui karakteristik tanah, jenis bibit, dan pengelolaannya. Jika bibit atau jenis tanaman yang ditanam tidak sesuai dengan karakter tanah ataupun pengelolaannya tidak tepat, maka hasilnya akan jauh dari harapan. Hal itulah yang menjadi dasar pemikiran (atau semacam keyakinan) yang wajib dimiliki para penggiat masyarakat, baik organisasi non pemerintah maupun pemerintah itu sendiri, dalam melaksanaan setiap programnya. Para penggiat (program pemberdayaan) masyarakat harus mengetahui dan memahami terlebih dahulu karakter masyarakat yang akan menjadi mitranya. Kata ‘mitra’ di sini memiliki makna yang besar yaitu masyarakat terlibat secara utuh sebagai penyelenggara program atau upaya pemberdayaan itu sendiri. Dengan kata lain, menempatkan masyarakat sebagai obyek dalam upaya pemberdayaan masyarakat adalah sebuah dosa besar. Masyarakat yang memiliki pengetahuan dan pemahaman utuh mengenai kehidupan dan lingkungannya pada akhirnya akan lebih mengetahui apa yang menjadi kebutuhan dalam upaya kelangsungan hidup mereka. Penggiat pemberdayaan masyarakat, dalam hal ini adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) memiliki peran untuk memfasilitasi masyarakat dalam mengungkapkan situasi dan kondisi yang dihadapinya demi mencapai kondisi yang dicita-citakan : sejahtera. Tentunya dengan memfokuskan upaya fasilitasi tersebut pada suatu tema yang diusung karena (tidak dapat dipungkiri) LSM juga harus mempertimbangkan keterbatasan sumber daya yang ada.

Bina Swadaya Konsultan (BSK) sebagai salah satu lembaga jasa konsultansi nasional yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat merupakan LSM yang berisi para penggiat masyarakat yang berkomitmen menjadikan masyarakat sebagai mitra dalam tiap program pemberdayaan masyarakat yang diselenggarakannya. Tak terkecuali dalam program pengurangan risiko bencana (PRB) yang dilakukannya di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur. Program Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Masyarakat (PRB-BM) adalah sebuah proses pemberdayaan masyarakat yang partisipatif dalam mengelola bencana baik sebelum, pada saat, dan sesudah terjadi bencana.  Dalam program ini masyarakat diajak melakukan kajian bencana, membuat perencanaan mengelola bencana, dan melaksanakannya melalui kelompok swadaya masyarakat (KSM) dengan melibatkan para pemangku kepentingan. Diharapkan melalui program ini, masyarakat mampu mengelola risiko bencana secara mandiri  untuk menghindari, mengendalikan risiko, mengurangi maupun memulihkan dari dampak bencana. Sehingga pada akhirnya kesadaran akan bencana yang bukan semata-mata takdir yang tidak dapat dihindari melainkan juga dampak akumulatif dari apa yang diperbuat manusia terhadap alamnya, dapat muncul di  masyarakat. Lebih jauh  lagi, masyarakat dapat membentuk suatu mekanisme pencegahan dan pengurangan risiko bencana yang sesuai dengan lingkungannya sehingga pada akhirnya dapat menunjang upaya mereka dalam menciptakan kehidupan yang harmonis dan sejahtera. Di sinilah, BSK melalui timnya yang berkomitmen penuh sebagai pendamping masyarakat dalam program PRB mewujudkan cita-cita tersebut. Dan inilah kami!


tim BSK Soe, TTS, NTT